Peluang Ekowisata Rangkong Gading
Rangkong gading merupakan penjaga ekosistem. Ia punya fungsi meregenerasi hutan secara alami. Biji buah yang dimakannya akan tersebar jauh dari pohon induk karena jangkauan jelajahnya yang luas. Regenerasi hutan akan terganggujika rangkong gading menghilang, begitu juga sebaliknya.
Bagi masyarakat adat Dayak yang hidup berdampingan dengan alam, punahnya rangkong juga berarti goyahnya keseimbangan budaya Dayak.
“Rugi pasti karena kebudayaan dayak dipengaruhi interaksi manusia dengan alam, manusia dengan pencipta, dan sesama,” kata Kris.
Perdagangan satwa ilegal tak cuma merugikan secara ekonomi, tapi juga ekologis. Karena itu, upaya konservasi rangkong gading tengah digalakkan. Bahkan, ada rencana membuat ekowisata bird watching sebagai solusi konservasi sekaligus ekonomi warga sekitar.
Pendapatan dari ekowisata pengamatan burung lebih menguntungkan dan berjangka panjang dibanding berburu. Masyarakat juga ikut andil menjaga ekosistem rangkong gading. Jika tidak, maka sumber penghidupan mereka akan hilang.
“Kalau diburu, mati, selesai. Anak cucunya tidak bisa lihat dan menikmati hasilnya. Beda dengan ekowisata,” terang Yokyok.
Infografik Rangkong Gading. tirto.id/Fuadi
Selama lima tahun belakangan, Yokyok tengah mematangkan rencana ekowisata ini. Tak sendiri, dia juga dibantu oleh The Whitley Fund for Nature, yayasan pemberi hibah untuk konservasi alam. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ikut mendorong sembari terus memperketat penegakan hukum.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Dan Ekosistem (Dirjen KSDAE) KLHK Wiratno mengatakan kepada Tirto, uji coba ekowisata rangkong gading akan dimulai tahun depan (2021).
“Memang arahnya ke sana, supaya hutan kita jaga, burung tetap bertengger, tapi turis datang dan masyarakat desa jadi tuan tanah, dapat uang,” ujarnya.
Wiratno mencontohkan tempat-tempat di Indonesia yang sudah terlebih dulu memulai ekowisata pengamatan burung, seperti Papua dan Kulon Progo. Di Kampung Malagufuk, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat, masyarakat mengembangkan ekowisata cendrawasih kuning kecil. Dalam satu kali lawatan turis, mereka bisa mengantongi pendapatan sekitar Rp7-8 juta.
“Penghasilan ini dibagi kepada semua orang yang berperan (dalam ekowisata), dari pramuantar, pemandu, dan koki,” demikian tertulis dalam situs resmi Econusa.
Sementara itu, warga Desa Jatimulyo, Kulon Progo,lihai memanfaatkan potensi ekonomi dari keanekaragaman jenis burung yang dapat diamati dari sana. Seturut studiFuadi Afif dkk (2018), Kulon Progo memiliki 227 jenis burung dari 508 jenis yang ada di Pulau Jawa. Itu artinya sekitar 47 persen jenis burung di Pulau Jawa terdapat di Kabupaten Kulon Progo.
“Menyadari bahwa lingkungannya menyimpan kekayaan sumber daya alam berupa keragaman burung, perangkat Desa Jatimulyo mengeluarkan Peraturan Desa (Perdes) yang melarang kegiatan perburuan dan sudah menerapkan sanksi bagi pemburu satwa liar, termasuk pemburu burung,” tulis Fuadi Afif dkk.
Di Polandia, wisata pengamatan burung bisa menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Wisata pengamatan bangau di Desa Zywkowo, misalnya, mampu menarik 2000-5000 pelancong setiap tahun. Pendapatannya bahkan bisa mencapai USD35.400 atau lebih dari Rp500 juta (Tourism Management Journal, 2014).
“Sama seperti cendrawasih di Papua dan Desa Wisata Jatimulyo, rangkong bisa jadi aset wisata. Banyak tempat sudah mulai, sekarang saatnya Kalbar menuju pariwisata berkelanjutan,” pungkas Wiratno menyudahi obrolan.
Tren ekowisata flora dan fauna memang terbukti bisa mendorong kelestarian ekologi sekaligus mendatangkan keuntungan ekonomi. Jadi, negara tak punya alasan untuk cuek terhadap keanekaragaman hayati. Negara wajib memperkuat regulasi dan penegakan hukum untuk menutup celah perdagangan satwa ilegal yang merusak alam.
Artikel ini telah dikoreksi berdasarkan keterangan dari narasumber Yokyok Hadiprakasa. Sebelumnya tertulis "Survei itu dilakukan terhadap 513 orang di 10 desa di Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu". Kami menggantinya dengan "Survei itu dilakukan terhadap 513 orang di beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu".
Jakarta, InfoPublik - Pernah mendengar burung enggang? Burung enggang atau biasa disebut juga burung rangkong terdiri dari 57 spesies. Dari 57 spesies ini 14 spesies terdapat di Indonesia dan bisa ditemui di Pulau Kalimantan.
Cerita dan mitos tentang burung enggang berbeda di setiap daerah. Namun bagi Suku Dayak Kalimantan, burung ini merupakan burung keramat.
Salah satu kisah menyebut, burung enggang merupakan jelmaan dari Panglima Burung.
Panglima Burung adalah sosok yang tinggal di gunung pedalaman Kalimantan dan berwujud gaib. Ia hanya hadir saat perang. Mengutip situs kalteng.go.id, pada umumnya burung ini dianggap sakral dan tidak diperbolehkan untuk diburu apalagi dimakan.
Nama Panglima Burung mencuat saat tragedi konflik di Sampit dan Sambas, Kalimantan, pada 2001 silam. Panglima Burung diyakini menyatukan Suku Dayak se-Kalimantan dan memberinya kekuatan.
Dalam kondisi tertentu, warga Dayak menggelar ritual tari perang untuk memanggil Panglima Burung. Sosok panglima memang diyakini sakti dan memberi kekuatan.
Cerita terkait yang sangat terkenal adalah tentang mandau terbang atau mandau yang bergerak sendiri mengincar lawan. Mandau adalah pedang khas Kalimantan. Panglima Burung dipercaya sebagai yang menggerakkan mandau terbang.
Sebenarnya burung enggang sendiri bermakna sebagai satu tanda kedekatan masyarakat Indonesia dengan alam sekitarnya. Seluruh bagian tubuh burung enggang digunakan sebagai simbol kebesaran dan kemuliaan suku Dayak. Burung ini juga melambangkan perdamaian dan persatuan.
Sayapnya yang tebal melambangkan pemimpin yang selalu melindungi rakyatnya. Sedangkan ekor panjangnya dianggap sebagai tanda kemakmuran rakyat suku Dayak.
Suaranya yang keras melengking, menjadi lambang ketegasan, keberanian, dan budi luhur. Perilakunya yang selalu hinggap di pohon tinggi diartikan sebagai sifat luhur dan jiwa kepemimpinan.
Burung enggang juga dijadikan sebagai contoh kehidupan keluarga di masyarakat agar senantiasa dapat selalu mencintai dan mengasihi pasangan hidupnya dan mengasuh anak mereka hingga menjadi seorang anak yang mandiri dan dewasa.
“Dalam masyarakat Dayak secara umum, burung—termasuk enggang—berkaitan dengan penciptaan manusia. Ia sarat nilai sakral dan spiritual. Jadi, bagi kami, mereka wajib dilindungi,” kata Direktur Eksekutif Institut Dayakologi Krissusandi Gunui.
Salah satu jenis burung ini adalah enggang gading. Spesies ini berukuran besar, baik kepala, paruh dan tanduknya yang menutupi dahinya.
Enggang gading memiliki paruh dan mahkota berwarna putih. Warna putih itu akan berubah menjadi oranye dan merah seiring waktu.
Perubahan itu terjadi karena enggang menggesek paruh ke kelenjar sehingga menghasilkan perubahan warna.
Daun ara merupakan makanan favorit burung ini. Ia juga suka menyantap serangga, tikus, kadal dan burung kecil lainnya.
Suku Dayak merupakan salah satu suku tertua di Nusantara. Warga suku Dayak sendiri saat ini sudah banyak menyebar ke berbagai daerah.
Suku Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan, dan Punan. Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis.
Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami Pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak Punan dan kelompok Proto Melayu, moyang Dayak yang berasal dari Yunnan.
Meski terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari.
Suku Dayak menggenggam nilai dan tradisi nenek moyang. Dari sisi lain, suku Dayak juga identik dengan hal-hal yang beraroma dunia gaib, salah satunya kepercayaan akan sosok Panglima Burung.
(Burung rangkong. Foto: tangkapan instagram @rangkongid.)
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber infopublik.id
Rangkong dalam Tradisi Dayak
Dalam prosesi adat Gawai Kenyalang, masyarakat Dayak Iban akan membikin pahatan enggang kenyalang dari kayu sebagai simbol magis. Tujuh hari setelah upacaragawai,patung enggang itu diarak dua kali melewati pelataran dan ruang tamu rumah betang—rumah khas Kalimantan.
“Dalam kebudayaan totemisme, enggang termasuk makhluk gaib. Ia wujud diri dari para leluhur,” ujar Kris.
Enggang juga kerap muncul dalam berbagai ritus budaya suku Dayak Kayaan. Salah satunya berupa tato tubuh yang melambangkan kasta, keagungan, kemuliaan, dan kegagahan. Dominikus Uyub, orang asli Dayak Kayaan, bercerita kepada Tirto bahwanapas agung rangkong juga diadaptasi dalam tari dan musik tradisional mereka.
“Ada namanya tarian tradisi Tingang Mate. Artinya enggang mati dan ditarikan oleh pria. Kemudian, ada musik sape dengan lagu Tingang Madang alias enggang terbang,” jelasnya.
Kepala rangkong juga dipakai sebagai aksesoris tradisional yang hanya boleh dipakai oleh dayung atau pemimpin ritual. Bulunya digunakan sebagai topi dan hanya boleh digunakan oleh dayung serta bangsawan saja. Pada zaman dulu, pemimpin suku Dayak Kayaan akan berburu rangkong untuk mendapat berbagai aksesori ini.
Meski begitu, warga Dayak Kayaan dilarang membunuh rangkong untuk keperluan lain. Di luar tradisi. Terlebih, jika tidak atas perintah pemimpin suku. Mereka yang tidak mengindahkannya akan dikutuk dengan penyakit kuning dan bengkak.
“Sekarang kami tidak niatkan berburu, apalagi sudah dilarang (dilindungi). Kebutuhan ritual (dipenuhi) hanya jika bertemu yang sudah mati, itu diambil,” ungkap Uyub.
Selain kedua suku Dayak itu, enggang juga digunakan sebagai simbol dalam ritual pernikahan suku Dayak Pangin Orung Daan. Ketiga suku ini serta suku Dayak Punan, Taman, dan Ulu Sungai menjadikan bagian tubuh rangkong sebagai media pengobatan tradisional.
Dalam kepercayaan Suku Dayak Punan, rangkong adalah wujud roh yang melindungi mereka dari ancaman peperangan. Sementara itu, legenda turun temurun suku Dayak Ulu Sungai meyakini perburuan enggang cula dan enggang gading akan mendatangkan bencana.
Namun, konsep budaya ini menjadi anomali ketika tak sejalan dengan kenyataan. Survei persepsi yang dilakukan Rangkong Indonesia bersama Kehati, YRJAN, dan TFCA (2018-2020) menyatakan, mayoritas responden tidak mengetahui nilai budaya atau nilai adat dari rangkong (47 persen). Bahkan, 86 persen responden mengaku tidak tahu bahwa maskot Provinsi Kalbar adalah rangkong gading.
“Sedihnya, mereka tidak tahu maskot wilayah Kalbar adalah rangkong gading,” kata Yokyok Hadiprakasa yang merupakan peneliti utama survei tersebut.
Survei itu dilakukan terhadap 513 orang di beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu. Di antara para responden itu, 84 persennya adalahwarga suku Dayak. Sebagian besar responden yang menjawab familiar dengan maskot Kalbar pun salah objek. Ada 74 persen responden justru menunjuk enggang cula sebagai maskot resmi daerah mereka.
Survei itu juga mengungkap bahwa 52 persen responden mengaku pernah berburu rangkong. Mirisnya lagi, rangkong gading adalah jenis yang paling banyak diincar (80 persen). Jenis lain yang jadi incaran adalah enggang cula (15 persen), julang emas (1 persen), enggang klihingan (1 persen), dan kengkareng hitam (3 persen).
“Di Kalbar ini terdapat 151 sub suku Dayak dengan 168 bahasa. Mereka sangat mungkin punya pemahaman filosofi berbeda. Jadi, saya tidak menafikan adanya perbedaan sejarah di Dayak lain,” lanjut Kris mengomentari fenomena ini.
BURUNG RANGKONG YANG DIHORMATI DI KALIMANTAN
Tidak hanya di Hutan Kehje Sewen, Kalimantan Timur, yang menjadi rumah bagi burung rangkong yang luar biasa menarik itu, Tim pemantauan kami di Pulau Juq Kehje Swen, sekitar 10 kilometer dari hutan Kehje Sewen, juga menemukan burung rangkong bersarang di sana. Pulau Juq Kehje Swen adalah pulau berhutan seluas 82,84 hektar hasil kerja sama dan yang melibatkan BOS Foundation dan PT. Nusaraya Agro Sawit (NUSA). Pulau itu dimanfaatkan untuk menampung orangutan yang tengah menjalani tahap pra-pelepasliaran.
Burung rangkong, juga dikenal dengan nama enggang atau julang ini masuk dalam suku Bucerotidae. Nama ilmiah ‘buceros’ merujuk pada paruh yang bentuknya menyerupai tanduk sapi dalam bahasa Yunani. Cara termudah mengidentifikasi rangkong adalah dari paruhnya yang besar, bentuknya khas, dan warnanya mencolok. Ciri khas lain burung ini adalah tubuhnya besar, teriakan nyaring dan kepak sayap yang keras saat terbang melintas.
Saat sedang melakukan kegiatan mengamati orangutan, tim kami sempat menemukan beberapa jenis burung rangkong di pulau, yaitu rangkong badak (Buceros rhinoceros), kangkareng perut-putih (Anthracoceros albirostris), kangkareng hitam (Antracoceros malayanus), julang emas (Aceros undulatus), julang jambul hitam (Aceros corrugatus) dan enggang klihingan (Anorrhinus galeritus).
Burung rangkong tak hanya berperan penting menjaga kualitasi ekosistem hutan, mereka juga terhubung erat dengan budaya Dayak. Bagi orang Dayak, rangkong adalah perlambang kesucian, kekuasaan, dan kekuatan. Ini tergambar jelas dalam seni tari tradisional Dayak yang banyak dihiasi oleh bulu burung rangkong.
Masyarakat Dayak juga percaya mereka bisa berkomunikasi dengan leluhur melalui perantaraan rangkong, dan bahwa roh pelindung Pulau Kalimantan berwujud rangkong raksasa legendaris yang dikenal sebagai Panglima Burung.
Burung besar ini memang tidak bisa dipisahkan dengan tradisi dan budaya masyarakat Dayak!
Rangkong Gading. Foto: Rangkong Indonesia/Yoki Hadiprakarsa
Makanan utama rangkong gading sangat spesifik, berupa buah beringin atau ara berukuran besar. Hanya hutan yang belum rusak yang dapat menyediakan pakan ini dalam jumlah banyak sepanjang tahun. Makanan lain berupa binatang-binatang kecil hanya dikonsumsi sekitar 2 persen dari keseluruhan komposisi makanannya.
Sama seperti semua jenis burung enggang, Rangkong gading hanya memiliki satu pasangan selama hidupnya (monogami). Setelah menemukan lubang sarang yang tepat, sang betina akan masuk dan mengurung diri.
Butuh sekitar 180 hari bagi rangkong untuk menghasilkan satu anak. Bersama rangkong jantan, lubang sarang akan ditutup menggunakan adonan berupa tanah liat yang dibubuhi kotorannya. Celah sempit disisakan pada lubang penutup untuk mengambil hantaran makanan dari sang jantan, dan juga untuk menjaga suhu dan kebersihan di dalam sarang.
Di dalam sarang, sang betina akan meluruhkan sebagian bulu terbangnya (moulting) untuk membuat alas demi menjaga kehangatan telur. Burung betina tidak akan dapat terbang dan bergantung sepenuhnya pada sang jantan, sampai sang anak keluar dari sarang. Tahap bertelur, mengerami, menetas, sampai anak siap keluar dari sarang membutuhkan waktu selama enam bulan.
Setiap tahunnya habitat rangkong gading di Indonesia yang berupa hutan tropis dataran rendah sampai perbukitan menghilang. Kondisi ini diperburuk dengan perburuan yang semakin meningkat dalam 5 tahun terakhir. doc/Rangkong Indonesia
Poonswad, dalam bukunya Ecology and Conservation menyatakan bahwa terdapat lima tahapan proses bersarang pada rangkong yaitu:
Pertama, tahap pre-nesting yaitu periode perkawinan. Ditunjukkan dengan usaha menemukan sarang (termasuk mengunjungi sarang) sebelum betina terkurung, berlangsung antara satu sampai tiga minggu.
Kedua, tahap pre-laying yaitu masa betina mulai terkurung sampai peletakan telur pertama, selama satu minggu. Periode aman bagi rangkong untuk mengeluarkan telurnya.
Ketiga, tahap egg incubation yaitu masa peletakkan telur pertama sampai telur pertama menetas, selama enam minggu. Pada Kangkareng perut putih hanya berlangsung selama empat minggu.
Keempat, tahap nesting yaitu masa dari induk betina keluar dari sarang (lobang sarang ditutup kembali) hingga anak memiliki bulu lengkap dan siap untuk terbang, berlangsung selama 8 - 13 minggu.
Kelima, tahap fledging yaitu masa dari pemecahan penutup sarang sampai semua anak keluar, memerlukan waktu dari hitungan beberapa jam hingga dua minggu, jika anak lebih dari satu.
Hilangnya hutan sebagai habitat utama, minimnya upaya konservasi, dan maraknya perburuan adalah perpaduan mengerikan bagi masa depan Rangkong Gading. Berbagai jenis pohon beringin yang menyediakan makanan utama bagi Rangkong Gading dianggap tidak memiliki nilai ekonomis sehingga keberadaannya tidak pernah diharapkan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P 57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018 kelompok enggang dikategorikan sebagai satwa prioritas tinggi di antara kelompok burung, terutama rangkong gading (Rhinoplax vigil) yang merupakan spesies prioritas di antara kelompok enggang.
Mengingat tingginya ancaman perburuan dan perdagangan di masa lampau, konvensi internasional untuk perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam (CITES) sudah memasukkan rangkong gading ke dalam Appendix I semenjak tahun 1975.
Di Indonesia sendiri, mengingat fungsi ekologisnya yang sangat penting, semua jenis enggang dalam famili Bucerotidae dilindungi oleh UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1990.
Pada tahun 2015, status konservasi rangkong gading di tingkat internasional mengalami perubahan di mana yang semula terancam punah (Near Threatened) menjadi kritis (Critically Endangered), yang merupakan status konservasi terakhir sebelum punah (Extinct). doc/Rangkong Indonesia
Pada tahun 2015, status konservasi rangkong gading di tingkat internasional mengalami perubahan di mana yang semula terancam punah (Near Threatened) menjadi kritis (Critically Endangered), yang merupakan status konservasi terakhir sebelum punah (Extinct).
Burung rangkong gading (Rhinoplax vigil) adalah ikon konservasi dari hutan tropis di Asia. Suaranya yang khas dan keras dapat terdengar di hutan-hutan tropis di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, kemudian sebelah selatan Thailand dan Myanmar, Semenanjung Malaysia. Burung enggang berukuran besar ini memiliki peranan penting secara ekologis dan budaya, namun kondisinya kini mendekati kepunahan.
Sebagai pemakan buah terbesar di antara jenis spesiesnya, burung ini secara ekologis berperan penting dalam menjaga dinamika hutan tropis yaitu melalui pemencaran biji dari buah yang dimakannya. Seperti jenis enggang di Asia lainnya, untuk berbiak, rangkong gading membutuhkan lubang pohon yang alami terbentuk dengan ukuran yang sangat spesifik. Rangkong gading sedikitnya membutuhkan 6 bulan untuk berkembang biak dan menghasilkan seekor anak.
Rangkong gading juga memiliki nilai budaya penting untuk masyarakat Indonesia, khususnya untuk masyarakat suku Dayak di Kalimantan. Di Provinsi Kalimantan Barat, burung ini merupakan simbol kebanggaan provinsi yang melambangkan keberanian dan keagungan Suku Dayak yang masih banyak mendominasi di provinsi paling barat pulau Kalimantan. Di provinsi paling selatan pulau Sumatera, rangkong gading memiliki nilai budaya yang melambangkan keagungan dan kepemimpinan bagi masyarakat pribumi Provinsi Lampung.
Dalam keluarga enggang, famili Bucerotidae, hanya rangkong gading yang memiliki balung (casque) yang besar dan padat di bagian atas paruhnya. Bagian padat dari balungnya terbentuk dari materi keratin yang umum disebut sebagai gading rangkong. Dengan karakteristik unik perpaduan warna kuning lembayung dan merah dengan tingkat kekerasan lebih lunak daripada gading gajah, gading rangkong menjadi incaran untuk dijadikan hiasan semenjak abad ke-14.
“Namun, informasi mengenai perburuan dan perdagangan rangkong gading sangatlah minim,” ungkap Yoki sapaan akrab Yokyok Hadiprakarsa dari Rangkong Indonesia dalam media workshop Rangkong Gading dan Arwana Red, yang digelar Yayasan Kehati, TFCA Kalimantan dan SIEJ, Rabu 28 Agustus 2019 di Jakarta.
Temuan 6000 burung mati dalam Investigasi 2013 di Kalimantan Barat. doc/Rangkong Indonesia
Yoki menjelaskan, setiap tahunnya habitat rangkong gading di Indonesia yang berupa hutan tropis dataran rendah sampai perbukitan menghilang. Kondisi ini diperburuk dengan perburuan yang semakin meningkat dalam 5 tahun terakhir. Pada tahun 2012-2013 di Kalimantan Barat, 6000 rangkong gading dewasa mati dan diambil kepalanya.
Temuan ini juga didukung dengan penyitaan 1291 paruh gangkong gading dalam rentang tahun 2012-2016 oleh pihak berwenang di Indonesia, di mana sebagian besar barang yang disita berasal dari Kalimantan Barat. Untuk burung yang memiliki perkembangbiakan yang lambat seperti rangkong gading, yang hanya menghasilkan satu anakan per tahun, perburuan dapat memberi dampak yang besar terhadap keberlangsungan populasinya di alam.
Sebanyak 72 paruh rangkong gading yang hendak diselundupkan pelaku TLC ke Hong Kong digagalkan petugas Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Foto: KLHK/BKSDA Jakarta
Lemahnya Pengawasan dan Maraknya Perburuan
Rabu 17 Juli 2019 lalu, pukul 05.00 WIB. Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Jakarta bersama Aviation Security [Avsec] dan Balai Karantina Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, menggagalkan penyelundupan 72 paruh burung rangkong gading [Rhinoplax vigil]. Seorang wanita inisial TLC [48 tahun] diamankan bersama barang bukti kejahatan tersebut yang hendak dibawa ke Hong Kong.
“Ini komitmen KLHK menindak kejahatan tumbuhan dan satwa liar melalui kolaborasi dan sinergi sejumlah pihak,†terang Dirjen Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani dalam keterangan tertulis
Modus operandinya membungkus paruh rangkong dengan kertas alumunium foil, lalu dimasukan dalam kaleng biskuit. Kemudian, disamarkan dengan biskuit di atasnya. Enam kaleng itu dimasukkan dalam sebuah tas jinjing besar biru.
“Saat pemeriksaan, petugas mencurigai isinya. Setelah diperiksa isinya 72 paruh rangkong gading. Atas temuan itu, petugas Avsec dan Karantina melaporkan ke BKSDA DKI Jakarta, lalu pelaku beserta barang bukti diserahkan ke Balai Gakkum Jabalnusra Seksi Wilayah I Jakarta untuk penyidikan,†katanya.
“Upaya pengamanan dan pemantauan aktivitas perdagangan satwa liar dilindungi di bandara, pelabuhan, dan terminal bus terus ditingkatkan untuk mencegah peredaran ilegal tumbuhan dan satwa liar dilindungi,†terang Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan Ditjen Gakkum, Sustyo Iryono.
Sustyo mengatakan, TLC sudah ditetapkan sebagai tersangka. Penyidik bersama Polda berkoordinasi untuk melakukan penahanan. “Yang bersangkutan mengaku sebagai kurir,†paparnya.
Jalur penjualan Rangkong Gading. doc/Rangkong Indonesia
Rangkong Gading. Foto: Rangkong Indonesia/Yoki Hadiprakarsa
Makanan utama rangkong gading sangat spesifik, berupa buah beringin atau ara berukuran besar. Hanya hutan yang belum rusak yang dapat menyediakan pakan ini dalam jumlah banyak sepanjang tahun. Makanan lain berupa binatang-binatang kecil hanya dikonsumsi sekitar 2 persen dari keseluruhan komposisi makanannya.
Sama seperti semua jenis burung enggang, Rangkong gading hanya memiliki satu pasangan selama hidupnya (monogami). Setelah menemukan lubang sarang yang tepat, sang betina akan masuk dan mengurung diri.
Butuh sekitar 180 hari bagi rangkong untuk menghasilkan satu anak. Bersama rangkong jantan, lubang sarang akan ditutup menggunakan adonan berupa tanah liat yang dibubuhi kotorannya. Celah sempit disisakan pada lubang penutup untuk mengambil hantaran makanan dari sang jantan, dan juga untuk menjaga suhu dan kebersihan di dalam sarang.
Di dalam sarang, sang betina akan meluruhkan sebagian bulu terbangnya (moulting) untuk membuat alas demi menjaga kehangatan telur. Burung betina tidak akan dapat terbang dan bergantung sepenuhnya pada sang jantan, sampai sang anak keluar dari sarang. Tahap bertelur, mengerami, menetas, sampai anak siap keluar dari sarang membutuhkan waktu selama enam bulan.
Setiap tahunnya habitat rangkong gading di Indonesia yang berupa hutan tropis dataran rendah sampai perbukitan menghilang. Kondisi ini diperburuk dengan perburuan yang semakin meningkat dalam 5 tahun terakhir. doc/Rangkong Indonesia
Poonswad, dalam bukunya Ecology and Conservation menyatakan bahwa terdapat lima tahapan proses bersarang pada rangkong yaitu:
Pertama, tahap pre-nesting yaitu periode perkawinan. Ditunjukkan dengan usaha menemukan sarang (termasuk mengunjungi sarang) sebelum betina terkurung, berlangsung antara satu sampai tiga minggu.
Kedua, tahap pre-laying yaitu masa betina mulai terkurung sampai peletakan telur pertama, selama satu minggu. Periode aman bagi rangkong untuk mengeluarkan telurnya.
Ketiga, tahap egg incubation yaitu masa peletakkan telur pertama sampai telur pertama menetas, selama enam minggu. Pada Kangkareng perut putih hanya berlangsung selama empat minggu.
Keempat, tahap nesting yaitu masa dari induk betina keluar dari sarang (lobang sarang ditutup kembali) hingga anak memiliki bulu lengkap dan siap untuk terbang, berlangsung selama 8 - 13 minggu.
Kelima, tahap fledging yaitu masa dari pemecahan penutup sarang sampai semua anak keluar, memerlukan waktu dari hitungan beberapa jam hingga dua minggu, jika anak lebih dari satu.
Hilangnya hutan sebagai habitat utama, minimnya upaya konservasi, dan maraknya perburuan adalah perpaduan mengerikan bagi masa depan Rangkong Gading. Berbagai jenis pohon beringin yang menyediakan makanan utama bagi Rangkong Gading dianggap tidak memiliki nilai ekonomis sehingga keberadaannya tidak pernah diharapkan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P 57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018 kelompok enggang dikategorikan sebagai satwa prioritas tinggi di antara kelompok burung, terutama rangkong gading (Rhinoplax vigil) yang merupakan spesies prioritas di antara kelompok enggang.
Mengingat tingginya ancaman perburuan dan perdagangan di masa lampau, konvensi internasional untuk perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam (CITES) sudah memasukkan rangkong gading ke dalam Appendix I semenjak tahun 1975.
Di Indonesia sendiri, mengingat fungsi ekologisnya yang sangat penting, semua jenis enggang dalam famili Bucerotidae dilindungi oleh UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1990.
Pada tahun 2015, status konservasi rangkong gading di tingkat internasional mengalami perubahan di mana yang semula terancam punah (Near Threatened) menjadi kritis (Critically Endangered), yang merupakan status konservasi terakhir sebelum punah (Extinct). doc/Rangkong Indonesia
Pada tahun 2015, status konservasi rangkong gading di tingkat internasional mengalami perubahan di mana yang semula terancam punah (Near Threatened) menjadi kritis (Critically Endangered), yang merupakan status konservasi terakhir sebelum punah (Extinct).
Burung rangkong gading (Rhinoplax vigil) adalah ikon konservasi dari hutan tropis di Asia. Suaranya yang khas dan keras dapat terdengar di hutan-hutan tropis di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, kemudian sebelah selatan Thailand dan Myanmar, Semenanjung Malaysia. Burung enggang berukuran besar ini memiliki peranan penting secara ekologis dan budaya, namun kondisinya kini mendekati kepunahan.
Sebagai pemakan buah terbesar di antara jenis spesiesnya, burung ini secara ekologis berperan penting dalam menjaga dinamika hutan tropis yaitu melalui pemencaran biji dari buah yang dimakannya. Seperti jenis enggang di Asia lainnya, untuk berbiak, rangkong gading membutuhkan lubang pohon yang alami terbentuk dengan ukuran yang sangat spesifik. Rangkong gading sedikitnya membutuhkan 6 bulan untuk berkembang biak dan menghasilkan seekor anak.
Rangkong gading juga memiliki nilai budaya penting untuk masyarakat Indonesia, khususnya untuk masyarakat suku Dayak di Kalimantan. Di Provinsi Kalimantan Barat, burung ini merupakan simbol kebanggaan provinsi yang melambangkan keberanian dan keagungan Suku Dayak yang masih banyak mendominasi di provinsi paling barat pulau Kalimantan. Di provinsi paling selatan pulau Sumatera, rangkong gading memiliki nilai budaya yang melambangkan keagungan dan kepemimpinan bagi masyarakat pribumi Provinsi Lampung.
Dalam keluarga enggang, famili Bucerotidae, hanya rangkong gading yang memiliki balung (casque) yang besar dan padat di bagian atas paruhnya. Bagian padat dari balungnya terbentuk dari materi keratin yang umum disebut sebagai gading rangkong. Dengan karakteristik unik perpaduan warna kuning lembayung dan merah dengan tingkat kekerasan lebih lunak daripada gading gajah, gading rangkong menjadi incaran untuk dijadikan hiasan semenjak abad ke-14.
“Namun, informasi mengenai perburuan dan perdagangan rangkong gading sangatlah minim,” ungkap Yoki sapaan akrab Yokyok Hadiprakarsa dari Rangkong Indonesia dalam media workshop Rangkong Gading dan Arwana Red, yang digelar Yayasan Kehati, TFCA Kalimantan dan SIEJ, Rabu 28 Agustus 2019 di Jakarta.
Temuan 6000 burung mati dalam Investigasi 2013 di Kalimantan Barat. doc/Rangkong Indonesia
Yoki menjelaskan, setiap tahunnya habitat rangkong gading di Indonesia yang berupa hutan tropis dataran rendah sampai perbukitan menghilang. Kondisi ini diperburuk dengan perburuan yang semakin meningkat dalam 5 tahun terakhir. Pada tahun 2012-2013 di Kalimantan Barat, 6000 rangkong gading dewasa mati dan diambil kepalanya.
Temuan ini juga didukung dengan penyitaan 1291 paruh gangkong gading dalam rentang tahun 2012-2016 oleh pihak berwenang di Indonesia, di mana sebagian besar barang yang disita berasal dari Kalimantan Barat. Untuk burung yang memiliki perkembangbiakan yang lambat seperti rangkong gading, yang hanya menghasilkan satu anakan per tahun, perburuan dapat memberi dampak yang besar terhadap keberlangsungan populasinya di alam.
Sebanyak 72 paruh rangkong gading yang hendak diselundupkan pelaku TLC ke Hong Kong digagalkan petugas Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Foto: KLHK/BKSDA Jakarta
Lemahnya Pengawasan dan Maraknya Perburuan
Rabu 17 Juli 2019 lalu, pukul 05.00 WIB. Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Jakarta bersama Aviation Security [Avsec] dan Balai Karantina Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, menggagalkan penyelundupan 72 paruh burung rangkong gading [Rhinoplax vigil]. Seorang wanita inisial TLC [48 tahun] diamankan bersama barang bukti kejahatan tersebut yang hendak dibawa ke Hong Kong.
“Ini komitmen KLHK menindak kejahatan tumbuhan dan satwa liar melalui kolaborasi dan sinergi sejumlah pihak,†terang Dirjen Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani dalam keterangan tertulis
Modus operandinya membungkus paruh rangkong dengan kertas alumunium foil, lalu dimasukan dalam kaleng biskuit. Kemudian, disamarkan dengan biskuit di atasnya. Enam kaleng itu dimasukkan dalam sebuah tas jinjing besar biru.
“Saat pemeriksaan, petugas mencurigai isinya. Setelah diperiksa isinya 72 paruh rangkong gading. Atas temuan itu, petugas Avsec dan Karantina melaporkan ke BKSDA DKI Jakarta, lalu pelaku beserta barang bukti diserahkan ke Balai Gakkum Jabalnusra Seksi Wilayah I Jakarta untuk penyidikan,†katanya.
“Upaya pengamanan dan pemantauan aktivitas perdagangan satwa liar dilindungi di bandara, pelabuhan, dan terminal bus terus ditingkatkan untuk mencegah peredaran ilegal tumbuhan dan satwa liar dilindungi,†terang Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan Ditjen Gakkum, Sustyo Iryono.
Sustyo mengatakan, TLC sudah ditetapkan sebagai tersangka. Penyidik bersama Polda berkoordinasi untuk melakukan penahanan. “Yang bersangkutan mengaku sebagai kurir,†paparnya.
Jalur penjualan Rangkong Gading. doc/Rangkong Indonesia
Enggang gading (Rhinoplax vigil) merupakan salah satu spesies yang mudah dikenali dari bentuk tubuhnya yang besar dan suara ‘calling’-nya yang bisa menggema ke penjuru hutan. Dengan postur tubuh yang besar, bulu ekor yang panjang menjuntai, bulu mata yang lentik, bentang sayap yang lebar, tampilan kepala yang unik membuat enggang gading terkesan sebagai burung purba. Enggang gading sudah lama mendiami hutan-hutan primer di Kalimantan Barat.
Enggang gading maskot Kalimantan Barat. (Rangkongid/Aryf Rahman)
Menurut kehidupan Suku Dayak, enggang gading memiliki nilai-nilai yang bisa menjadi teladan dalam berkehidupan. Beberapa filosofi yang dimiliki kemudian dijabarkan oleh salah seorang penggagas maskot Kalimantan Barat, Budi Suriansyah, diantaranya:
Alasan inilah yang membuat spesies ini dipilih menjadi maskot Kalimantan Barat. Penetapannya didasarkan pada:
Meski telah ditetapkan sebagai maskot Kalimantan Barat sejak tahun 1990, masih banyak masyarakat yang tidak familiar dengan enggang gading. Berdasarkan hasil survei persepsi yang kami lakukan dari tahun 2018-2020 dari 513 responden sebanyak 86% responden tidak mengetahui enggang gading sebagai maskot Kalimantan Barat dan bahkan sering tertukar dengan enggang cula. Mengapa bisa terjadi?
Beberapa dugaan muncul salah satunya karena enggang cula dianggap lebih menawan. Berbeda dengan enggang gading, enggang cula tampak cantik karena bentuk balungnya yang lentik dan lebih menarik. Enggang cula juga lebih sering digunakan sebagai pelengkap dekoratif dalam pakaian adat dan ritual adat ketimbang enggang gading. Bahkan Suku Dayak Iban memiliki Ritual Kenyalang atau Ritual enggang cula yang merupakan ritual terbesar bagi Suku Dayak Iban.
Sementara Suku Dayak Tamambalo menjadikan enggang cula sebagai penanda akan terjadi hal baik ataupun hal buruk berdasarkan arah terbangnya.
Enggang cula sebagai ornamen bangunan di Kalimantan Barat. (Rangkongid/Hardiyanti)
Ditambah enggang cula mendiami hutan sekunder yang jaraknya lebih dekat dengan tempat tinggal masyarakat sehingga mudah dijumpai, dibandingkan enggang gading yang habitatnya berada di hutan primer. Artinya, lokasinya sulit dijangkau oleh manusia. Sehingga masyarakat lebih familiar dengan enggang cula daripada enggang gading. Terbukti ketika ada perayaan-perayaan pembangunan daerah Kalimantan Barat, enggang cula lebih sering ditampilkan daripada enggang gading.
Di tengah kondisi ini, upaya untuk memperkenalkan enggang gading kepada masyarakat telah dilakukan lebih dari dua dekade yang lalu. Bapak Abdul Halim Ramli, ilustrator maskot Kalimantan Barat, telah bergerak untuk memperkenalkan enggang gading sebagai maskot Kalimantan Barat diantaranya dengan membuat pameran seni rupa di Taman Budaya Pontianak pada awal Februari 1993. Pameran ini juga diresmikan oleh Bapak Aspar Aswin, Gubernur Kalimantan Barat kala itu. Beliau juga menciptakan syair yang dijadikan sebagai lagu balada yang pernah dilagukan pada kegiatan di Taman Budaya Pontianak.
Upaya memperkenalkan maskot Kalbar tidak berhenti disitu. Jepit dasi berbentuk enggang gading yang terbuat dari emas bermata intan diserahkan oleh Pemda TK 1 Kalbar kepada Gubernur Kalimantan Barat, Bapak Soedjiman ketika beliau purna bakti.
Foto, lukisan maupun Maskot Kalbar juga dimuat pada cover depan buku Atlas Kalimantan Barat yang telah diterbitkan oleh Pemda Tingkat I Kalbar pada bulan Juni 1993. Buku ini lalu disebarkan hampir ke seluruh SDN di Kalbar. Jika digali lebih jauh, bahkan ada lagu “Enggang Gading dan Tengkawang Tungkul” yang dikenalkan kala itu dengan syair ciptaan Bapak Paul Putra. Lagu ini telah disebarkan di Pontianak dibawah label HB Production.
Seiring berjalannya waktu, ada pergeseran pengetahuan. Sebab sampai saat ini masyarakat masih banyak yang belum mengetahui maskot daerahnya sendiri. Artinya kita masih memiliki tugas untuk berbagi informasi dan terus menyadarkan masyarakat bahwa maskot Kalimantan Barat bukanlah enggang cula, tapi enggang gading. Dengan lebih banyak yang mengetahui, diharapkan kebanggaan dan rasa memiliki masyarakat akan spesies yang saat ini populasinya kritis akan semakin meningkat.
Penulis: Hardiyanti Editor: Mutiara Imanda Yusuf
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
tirto.id - Rangkong gading telah ditahbiskan sebagai maskot Kalimantan Barat (Kalbar) sejak 1990 lewat SK Menteri Dalam Negeri Nomor 48/1989. Diperkuat juga dengan Keputusan Gubernur KDH Kalbar Nomor 257/1990 tanggal 6 Juli 1990 tentang penetapan identitas flora dan fauna daerah Kalbar.
Burung ini secara filosofi punya keterikatan kuat dengan masyarakat Dayak. Sifat dan perilaku rangkong gading dianggap sarat teladan dalam berkehidupan. Suaranya yang keras melengking, misalnya, menjadi lambang ketegasan, keberanian, dan budi luhur. Perilakunya yang selalu hinggap di pohon tinggi diartikan sebagai sifat luhur dan jiwa kepemimpinan. Bentang sayapnya yang lebar perlambang kekuasaan yang menaungi. Sementara ekornya yang panjang menjuntai melambangkan kemakmuran.
Dari caranya mencari makan, burung yang juga disebut enggang gading ini tak pernah menggambil buah yang jatuh di tanah. Perilaku ini diartikan sebagai lambang kesucian dan tidak serakah. Kesetiaan enggang gading pada satu pasangan selama hidup merepresentasikan loyalitas dan tanggung jawab.
“Dalam masyarakat Dayak secara umum, burung—termasuk enggang—berkaitan dengan penciptaan manusia. Ia sarat nilai sakral dan spiritual. Jadi, bagi kami, mereka wajib dilindungi,” tutur Direktur Eksekutif Institut Dayakologi Krissusandi Gunui.
Kris, demikian dia kerap disapa,adalah keturunan Dayak Iban. Dia menjelaskan bahwa orang Dayak Iban menyebut rangkong gadingsebagai panglima burung karena dianggap keramat dan sakti. Ia adalah simbol pemimpin dari dunia atas, sementara dunia bawah dilambangkan dengan naga. Ia juga dianggap sebagai jelmaan Pencipta, wadah pengetahuan dan adat yang diturunkan pada manusia.