Rumah Foto Galuh Mas

Rumah Foto Galuh Mas

Toko Kelontong dan Foto Copy mas Sidiq

112 Jl. Manunggal, Jogja, ID

POLA HUJAN PETIR OLYMPUS Galeri Foto Kami. 1 -+ 2 -+ G¥». Kontak Kami. Jln. Watutakula Desa Radamata Kec. Kota Tambolaka Kab. Sumba Barat Daya. Prov. Nusa Tenggara Timur.

Raja Galuh Pangauban yang bernama Prabu Haur Kuning yang mendirikan kerajaan di Putrapinggan (Kalipucang) punya anak 3 orang yaitu:

1.      Maha Raja Upama

2.      Maha Raja Cipta Sanghiang

3.      Sareusepan Agung

Maha raja Upama menjadi raja menggantikan ayahnya di Putrapinggan,Saereusepan Agung jadi raja di Cijulang dan maha raja Cipta Sanghiang menjadi raja di Galuh Salawe didaerah Cimaragas sekarang.

Maharaja cipta sanghiang punya anak 3 orang yaitu:

1.      Tanduran Ageung atau disebut Tanduran Gagang

2.      Cipta Permana

3.      Sanghiang permana

Sanghiang Permana meneruskan pemerintahan ayahnya di Galuh Salawe (Cimaragas) dengan gelar Prabu Digaluh, Cipta Permana mendirikan kerajaan Galuh Kawasen di Banjarsari. Tanduran Ageung kawin dengan Rangga Permana mendirikan kerajaan Galuh Kerta Bumi Di Muntur.

Tulisan ini diambil dari internet, tapi juga ada buku karya

H. Jaja, sehingga cerita ini banyak dikenal orang.

Desa Pananjung Pangandaran pada awalnya dibuka dan ditempati oleh para nelayan dari Suku Sunda. Para pendatang lebih memilih daerah Pangandaran untuk menjadi tempat tinggal karena gelombang laut yang kecil membuat mereka mudah untuk mencari ikan. Pantai Pangandaran memiliki sebuah daratan yang menjorok ke laut dan sekarang menjadi cagar alam atau hutan lindung, dan tanjung inilah yang menghambat atau menghalangi gelombang besar untuk sampai ke pantai.

Para nelayan menjadikan pantai pangandaran sebagai tempat untuk menyimpan perahu yang dalam bahasa sundanya disebut andar. Beberapa waktu kemudian para pendatang banyak bersandar ke tempat ini dan menetap sehingga menjadi sebuah perkampungan yang disebut Pangandaran. Pangandaran berasal dari dua buah kata pangan dan daran, pangan berarti makanan dan daran maknanya pendatang. Pangandaran dapat diartikan sebagai sumber makanan para pendatang.

Sesepuh terdahulu memberi nama desa dengan kata 'Pananjung', karena di daerah itu terdapat tanjung dan banyak sekali terdapat daerah keramat di beberapa tempat. Pananjung berasal dari kata dalam bahasa Sunda 'pangnanjung-nanjungna' (paling subur atau paling makmur).

Pananjung pada mulanya merupakan salah satu pusat kerajaan, sejaman dengan kerajaan Galuh Pangauban yang berpusat di Putrapinggan sekitar abad XIV M, yaitu pada masa setelah munculnya kerajaan Pajajaran di Pakuan Bogor. Nama raja Kerajaan Pananjung adalah Prabu Anggalarang yang disebut dalam salah satu versi kisah sejarah sebagai keturunan Prabu Haur Kuning, raja pertama kerajaan Galuh Pangauban. Kerajaan Pananjung sayangnya hancur diserang oleh para Bajo (Bajak Laut) karena tidak bersedia menjual hasil bumi kepada mereka. Penolakan Kerajaan Pananjung ini disebabkan pada saat itu situasi rakyat sedang dalam keadaan paceklik (gagal panen).

Penjajah Belanda melalui Y. Everen (Residen Priangan) menjadikan Pananjung sebagai taman baru pada tahun 1922. Waktu itu terjadi penambahan 'penghuni' taman dengan dilepaskannya seekor banteng jantan, tiga ekor sapi betina dan beberapa ekor rusa.

Pananjung dijadikan suaka alam dan marga satwa pada tahun 1934, dengan luas 530 Ha. Penetapan ini berdasarkan alasan karena Panjanjung memiliki keanekaragaman satwa dan jenis–jenis tanaman langka, dan agar kelangsungan habitatnya dapat terjaga. Status Pananjung berubah menjadi cagar alam pada tahun 1961 setelah ditemukannya Bunga rafflesia padma.

Sebagian kawasan Pananjung seluas 37,70 Ha dijadikan Taman Wisata pada tahun 1978, seiring dengan meningkatnya hubungan masyarakat dengan tempat rekreasi. Kawasan perairan di sekitarnya pada tahun 1990 dikukuhkan pula sebagai cagar alam laut (470,0 Ha), sehingga luas kawasan pelestarian alam seluruhnya menjadi 1000,0 Ha.

Pengusahaan wisata TWA Pananjung Pangandaran pada perkembangan selanjutnya berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 104/KPTS-II/1993 diserahkan dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam kepada Perum Perhutani dalam pengawasan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, Kesatuan Pemangkuan Hutan Ciamis, bagian Kemangkuan Hutan Pangandaran.

Di Kabupaten Ciamis, tepatnya di Ciamis selatan terdapat sebuah legenda masyarakat Dewi Rengganis. Legenda ini mengisahkan tentang kisah  seorang Putri yang bernama Dewi Rengganis atau Siti Samboja, dia adalah salah satu  putri yang ke-38 dari Prabu Siliwangi yang bersuamikan Angkalarang. Dalam buku sejarah Ciamis diceritakan bahwa Dewi Rengganis dan Angkalarang Memiliki sebuah kerajaan bernama kerajaan Kidang Pananjung (obyek wisata pantai pangandaran). Suatu hari kerajaan tersebut di serang oleh Para Bajo atau Bajak Laut dari sebrang (versi lain mengatakan bangsa Portugis).

Suami Dewi Rengganis Angkalarang tewas terbunuh oleh Kalasamudra (pimpinan para bajo), sedangkan Dewi Rengganis lari bersama para pengikutnya. Dewi Rengganis sangat sedih atas kematian  Suaminya. untuk menghilangkan kesedihan dan kemarahan Putrinya atas kematian Angkalarang, Ayahandanya yaitu Prabu Siliwangi memberikan wangsit kepada Putrinya. Isi wangsit itu adalah untuk membalas Kalasamudra atas kematian Suaminya Angkalarang, Dewi Rengganis harus menyamar menjadi Ronggeng dan memakai nama Nini Bogem. Sesuai wangsit itu Dewi Rengganis mulai belajar menari dan seni beladiri. Singkat cerita Dewi Rengganis berhasil memikat Kalasamudra dan berhasil membunuh Kalasamudra.

Masih di daerah Ciamis tepatnya Ciamis selatan sekitar Banjarsari sampai Pangandaran terdapat kesenian buhun yang bernama Ronggeng Gunung yang berfungsi sebagai sarana upacara adat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Ronggeng adalah tari tradisional Indonesia dengan penari utama wanita dengan dilengkapi selendang atau sampur sebagai kelengkapan menari” (Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa,1989,531). Berbeda dengan sebutan ronggeng pada umumnya seperti yang dikatakan dalan Ensiklopedi Sunda dikatakan bahwa:

Pada masa sebelum perang , semua Perempuan yang menyanyi atau menari di depan umum disebut Ronggeng. Sekarang Penyanyi dengen iringan gamelan atau kliningan disebut Sinden atau Pasinden. Sebutan Ronggeng hanya diberikan kepada perempuan yang kecuali Penyanyi (kawih), juga melayani para Penonton yang beminat untuk menari dengan imbalan uang, seperti dalam ketuk tilu,  doger, dongret,, longser, dll          ( Ajip rosidi,2000,551).

Ronggeng Gunung berbeda dengan Ronggeng lainya, dilihat dari Sinden, pemain atau Penari, bentuk  koreografi, pola lantai , tidak ada imbalan uang untuk menari. Dalam Ronggeng Gunung wanita atau Sinden lebih banyak menyanyi. Keseluruhan Penarinya adalah laki-laki, bentuk koreografi Ronggeng Gunung lebih terfokus pada gerakan kaki walaupun ada sebangian gerakan tangan tapi semuanya bepatokan pada kaki. Pola lantai Ronggeng Gunung selalu melinkar walaupun sesekali berpencar pada gerakan adu dalam lagu “ sagaran”. Pada awalnya Ronggeng Gunung hanya digunakan untuk sarana upacara yang berkaitan dengan pertanian atau kesuburan . (sumber Internet)

Galuh Kertabumi merupakan kerajaan wilayah,bagian dari dinasti Kerajaan Galuh Pangauban yang didirikan oleh Prabu Haur Kuning di Putrapinggan Kalipucang (diperkirakan sekitar 1530 M). Raja ini memiliki tiga orang putra yang bernama Maharaja Upama, Maharaja Sanghyang Cipta dan Sareuseupan Agung.  Sebagai anak tertua, Maharaja Upama mewarisi kerajaan Galuh Pangauban dari ayahnya. Maharaja Sanghyang Cipta diberi wilayah Salawe (Cimaragas) dan mendirikan Kerajaan Galuh Salawe. Sedangkan Sareuseupan Agung menjadi raja di wilayah Cijulang.

Menurut H. Djaja Sukardja, MaharajaSanghyang Cipta mempunyai 3 orang putra yang bernama Tanduran Ageung (Tanduran Gagang),Cipta Permana, dan Sanghyang Permana. Tanduran Ageung kemudian menikah dengan Rangga Permana, putra Prabu Geusan Ulun (Angkawijaya) pada tahun 1585 M. Wilayah Muntur pun diberikan oleh Maharaja Sanghyang Cipta sebagai hadiah perkawinan. Di wilayah tersebut kemudian berdiri Kerajaan Galuh Kertabumi  dan Rangga Permana diberi gelar Prabu Dimuntur. Raja ini memerintah dari tahun 1585 sampai tahun 1602 M.

Adiknya Tanduran Ageung, yang bernama Cipta Permana diberi wilayah Kawasen (Banjarsari)  dan mendirikan kerajaan Galuh Kawasen. Sedangkan Sanghyang Permana mewarisi kerajaan ayahnya, memerintah di Galuh Salawe (Cimaragas) dengan gelar Prabu Digaluh. Masa berdirinya KerajaanGaluh Kertabumi merupakan masa pengembangan agama Islam dari Cirebon dan Sumedang ke wilayah-wilayah kerajaan Galuh. Salah satu penyebarannya adalah dengan melangsungkan pernikahan antara keluarga kerajaan yang masih menganut agama pra Islam dengan kerajaan yang sudah diislamkan oleh Cirebon.

Hal tersebut dilakukan oleh Rangga Permana dengan Tanduran Ageung. Dan jejak Tanduran Ageung diikuti oleh Cipta Permana yang menikahi Putri Maharaja Kawali yang sudah Islam. Tokoh yang mengislamkan Kawali saat itu adalah Adipati Singacala dari Cirebon(makamnya di Astana Gede Kawali). Sejak saat itulah pengaruh Islam semakin kuat di Kerajaan-kerajaan Galuh tug sampai jaman kiwari.

Menurut riwayat dari wilayahTalaga, Prabu Haur Kuning  ternyata merupakan generasi ke empat Prabu Siliwangi. Ayah dari Prabu Haur Kuning bernama Rangga Mantri atau Sunan Parung Gangsa (Pucuk UmumTalaga) yang menikah dengan Ratu Parung (RatuSunyalarang / Wulansari).  Sedangkan ayahRangga Mantri adalah salah seorang putra Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Munding Surya Ageung.  Rangga Mantri yang awalnya beragama Budha masuk Islam setelah ditaklukan Cirebon tahun 1530 M.

Dalam Riwayat lain, disebutkan pula tokoh Anggalarang sebagai salah satu putra Prabu Haur Kuning. Anggalarang adalah suami dari Dewi Siti Samboja yang kelak menciptakan Ronggeng Gunung.  Menurut H. Djaja Sukardja,tokoh Anggalarang diduga kuat adalah nama lain dari Maharaja Upama sebelum menjadi raja. Sebagai pembanding, keterangan lainya menyebutkan di wilayah pangandaran juga terdapat  kerajaan Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung dan beribukota Bagolo yang jauh sebelumnya pernah dikunjungi Bujangga Manik.

Menurut Babad Imbanagara yang disusun  Ir. R Gumiwa Partakusumah, Raja Bagolo adalah Sawung Galing yang menikahi Dewi Siti Samboja yang menjadi janda setelah suaminya yaitu Raden Anggalarang meninggal terbunuh bajo. Sawung Galing dalam sejarah Ronggeng Gunung adalah patih yang diutus oleh Prabu Haur Kuning untuk membantu Dewi Samboja dalam membalaskan kematian suaminya yaitu Anggalarang.

Di beberapa daerah (Talaga, Majalengka, Sumedang dan Ciamis) adanya kesamaan nama beberapa tokoh sejarah ternyata saling memperkuat keberadaannya. walau terkadang  sedikit berbeda, baik jujutan tahun keberadaanya, garis silsilah, riwayat hidup, maupun nama kerajaannya.Namun  semuanya rata-rata bersumber atau berasal dari keturunan yang sama, yaitu seuweu-siwi Prabu Siliwangi, penguasa agung Kerajaan Pajajaran. (sumber Internet)

Mengenaisilsilah Rangga Permana atau Prabu Dimuntur ternyata ada perbedaan antara BukuPatilasan Kerajaan Galuh Kertabumi (PKGK) karya H. Djaja Sukardja dengan sumbersejarah dari Sumedanglarang.  Keterangandari Sumedanglarang menyebutkan bahwa Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orangistri. Yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru putrinya Sunan Pada, Kedua yaituRatu Harisbaya dari Cirebon,ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut Geusan Ulun dikaruniai15 orang putra. Di antara putrannya itu,ternyata tidak ada nama Rangga Permana,  sedangkan di  PKGK dinyatakan bahwa RanggaPermana adalah putra Geusan Ulun, mana yang betul?

R. Gun Gun Gurnadi salah seorang trah keturunan dari Ciancang (eks Kabupaten tahun1658-1811 M, sebelah barat Kertabumi) yang juga mewarisi buku Sejarah Galoeh dari bao nya, Dalem Wirabaya (Wiratmaka I) yang menjabat sebagai bupatiterakhir Ciancang, menjelaskan bahwa Raden Permana sebetulnya adalah putra dariKyai Rangga Haji, dan cucu dari Pangeran Santri hasil pernikahan dengan Ratu Pucuk Umun. Rangga Haji merupakanputra kedua dari 6 bersaudara sedangkan kakaknya yang tertua bernamaRaden Angkawijaya yang terkenal dengan nama GeusanUlun

“ Janten mun ditingal tina garis keluarga, Rangga Permana atanapi Prabu Dimuntur nyaeta alona  Geusan Ulun, sanes putrana.” ujarnya. Lebih jauh R Gun Gun menandaskan bahwa perbedaan keterangan tersebut adalah suatu hal yang wajar karena yang namanya sejarah akan terus dianalisa setiap waktu sampai ditemukan data-data atau sumber terbaru sampai pada kesimpulan yang mendekati kebenaran.

Sang Raja Cita,salah seorang putra Prabu Dimuntur, menjadi penguasa Kertabumi berikutnya dengan pangkat Adipati, bergelar Kertabumi I (1602-1608). Sedangkan pada waktu itu kekuasaan Prabu Geusan Ulun di Sumedanglarang (1580-1608 M) meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik,Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis) dengan Kutamaya sebagai ibukota kerajaannya.

Putri Raja Cita bernama Natabumi diperistri oleh Dipati Panaekan,pada saat itu  pengaruh Mataram Islam dibawah pemerintahan Mas Jolang yang bergelar Sultan Hanyokrowati (1601-1613) mulai masuk ke wilayah Galuh. Sedangkan putra kedua Raja Cita yang bernama Wiraperbangsa kelak menggantikan kedudukan ayahnya dengan gelar Adipati Singaperbangsa I (1608-1618). Raja Cita dimakamkan di Kampung Buner, Desa Bojongmengger.

H. Djaja Sukardja merasa yakin bahwa riwayat Kota Banjar yang dimulai dari Galuh Kertabumi semakin natrat ketika Singaperbangsa I memindahkan pusat Kerajaan Galuh Kertabumi dari Gunung Susuru ke Banjar Patroman(Desa Banjar Kolot). Penyebab perpindahan tersebut, akibat terjadinnya perselisihan faham antara Singaperbangsa I dengan Adipat iPanaekan (kakak iparnya) dalam rencana penyerangan terhadap Belanda di Batavia.

Adipati Panaekan condong kepada rencana Dipati Ukur untuk menyerang secepatnya ke Batavia sebelum kekuatan Belanda makin besar. Sedangkan Singaperbangsa I lebih sependapat dengan Rangga Gempol yang merencanakan membangun kekuatan dengan mempersatukan wilayah Priangan. Rangga Gempol adalah penguasa Sumedanglarang(1620 M dan berada dibawah pengaruh Sultan Agung Mataram.

Akibatperselisihan tersebut membuat Adipati Panaekan terbunuh. Jasadnya dihanyutkan ke Sungai Cimuntur kemudian  dimakamkan di Karangkamulyan. Akibat peristiwa tragis itu membuat Singaperbangsa I tidak genah tinggal di Gunung Susuru, sehingga akhirnya pindah ke Banjar Patroman. (Sumber Internet)

Desa Putrapinggan termasuk ke

Kecamatan Kalipucang, dahulu Kabupaten Ciamis, namun kini masuk ke Kabupaten Pangandaran.

Putrapinggan yang aslinya Desa Ciputrapinggan, dirubah menjadi Desa Putrapinggan oleh Kepala Desa Suratiman.

Sejak tahun 1912 Desa Putrapinggan telah ada dalam sistem pemerintah an yang kala itu ada dalam kekuasaan penjajahan Hindia belanda. Dalam awal berdirinya putrapinggan memang tidak ada bukti yang nyata tentang awal berdirinya desa. Hal ini karena dokumen yang mengabsahkan secara administratif tidak tersedia di arsip desa, bahkan tetua desa pun tidak ada yang tahu secara pasti. Sebagai gambaran berdasarkan beberapa tokoh tokoh tua yang masih ada, akan dijelaskan ikhwal keberadaan desa Putrapinggan.

Desa Putrapinggan awal namanya adalah Desa Tjiputrapinggan (Ciputrapinggan), menurut beberapa tokoh, nama tersebut berasal dari sumber mata air yang terdapat disuatu wilayah yang tak pernah kering walau didera musim kemarau panjang, mata air tersebut ada yang aneh ketika air keluar dari sumbernya yaitu membentuk gelembung yang seperti sebuah “pinggan” sejenis tempat bumbu masak berbentuk kepal atau disebut mangkok. Karena air merupakan sumber kehidupan yang sangat dibutuhkan oleh manusia, khususnya oleh warga didesa tersebut maka diberinama Ciputrapinggan (Wallohualam bisawab)

Sejak berdirinya Desa Putrapinggan telah dipimpin oleh 11 kepala desa terpilih. Menurut beberapa tokoh tua desa urutannya adalah sebagai berikut :

Ket: Diteruskan oleh Salam selaku Pymt dan dilanjutkan oleh Cucu Sutria.

Diawal berdirinya ketika Kuwu Bintang menjadi Kepala Desa, Desa Putrapinggan saat itu hanya 17 Umpi (kepala keluarga). Adapun pusat pemerintahan Desa saat itu di Cirateun (dekat rumah Karwas) yang merupakan salah satu kampung yang paling padat, selain Cirateun, ada kampung lain yang cukup eksis keberadaanya yaitu Bojong, Karanggondang, Pandean, Ranca Petir/Karangsari, Panggadegan, Rancakalong/Lembahputri. Bahkan didesa Putrapinggan terdapat situs penting di Kabupaten Ciamis, yakni situs gunung Panaekan (Mbah Jayandaru) yang terletak didusun Bojong. Erat kaitannya dengan sejarah penyebaran agama Islam dikerjaan Galuh saat itu.

Didesa Putrapingganpun dipercaya sebagai bekas pusat pemerintahan Kerajaan Galuh Pangauban yang dipimpin oleh Raja Prabu Haur Kuning dan merupakan sempalan Kerajaan Galuh yang pusatnya dikawali (Astana Gede) menurut tulisan Babad Galuh Imbanagara, yang disusun oleh Ir. Raden Iwa Gumiwa tahun 1971. Namun sayang sampai saat ini belum ada penelitian lebih lanjut dari pihak kepurbakalaan untuk mengungkap kebenaran cerita tersebut. Tetapi apabila dikaitkan dengan sejarah Pananjung, Bagolo, Cikembulan, Kawasen, dan cerita Ronggeng Gunung, kemungkinan cerita tersebut merupakan sejarah yang harus diungkap sehingga jelas kebenarannya.

Sebagai Kuwu kedua, Raspian melanjutkan program pembenahan kedalam, terutama pamong desa terlebih dahulu yang harus menjadi tauladan dan panutan masyarakat desa. Beliau juga melanjutkan program penertiban administratif desa. Hal ini memudahkan pemerintah selanjutnya karena kepentingan keadilan pelayanan prima pemerintah desa saat itu maka pusat pemerintahan desa dipindahkan ke dusun karangsari yang dipandang tengah-tengah letaknya. Ini terjadi pada masa Kepala Desa Suarjo. Pembuatan balai desa dikerjakan secara gotong royong oleh masyarakat dengan menggunakan potensi yang ada. Termasuk bahan baku diambil dari wilayah Desa Putrapinggan yang memang subur dengan sumber daya alam.

Untuk selanjutnya pemerintahan dilanjutkan oleh Kepala Desa Arjawisastra, yang lebih dikenal dengan sebutan Kuwu Mistar. Beliau eksis dalam penguatan keamanan desa supaya masyarakat tenang dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Apalagi saat itu terjadi pemberontakan PKI yang mengguncangkan sistem Pemerintahan RI secara umum, imbasnya termasuk ke desa Putrapinggan. Namun berkat persatuan dan kesatuan yang kuat antara aparat keamanan, pemerintah desa, dan masyrakat yang terlibat, gangguan tersebut dapat diatasi bahkan masyarakat yang terlibat ditangkap dan diadili. Perehaban bangunan balai desa dilakukan ketika Uli Suyadi menjadi Kepala Desa. Hal ini dipaandang perlu untuk lebih meningkatkan kapabilitas dan kualitas pelayanan pemerintahan desa  terhadap masyrakatnya.

Ketika masa Kepala Desa Suratiman, ada penggantian nama desa dari Ciputrapinggan menjadi Putrapinggan. Selain itu ada pula penggantian beberapa nama tempat, diantaranya Pasir Pugag menjadi Pasir Panjang, dan Rancakalong menjadi Lembah Putri. Tidak ada sumber tepat mengapa hal itu dilakukaan namun semua itu untuk kepentingan dan kemajuan desa.

Setelah Kepala Desa Suratiman terjadi kekosongan pimpinan sehingga pemerintahan dipimpin oleh Pejabat Sementara, yaitu Z. Komarudin. Setelah kurang lebih dua tahun, baru diadakan pemilihan kepala desa. Saat itu calonnya ada dua yakni Wartoyo dan Undang Supriatna. Hasil pemilihan kepala desa yang dilaksanakan secara LUBER terpilih Wartoyo untuk masa bakti tahun 2000-2008 (sumber internet)

Karanggonadang latar belakang dari Galuh Pangauban

Nama tempat ini merupakan sebuah Dusun di Desa Putrapinggan yang dahulunya kerajaan Galuh Pangauban. Karanggondang dulunya hutan belantara, Awal pembukaannya tidak terlalu jelas, namun hingga tahun 1998, Karanggondang masih memiliki pemimpin yang cukup disegani, dia adalah Murdiki bin Resantika

). Karanggondang terletak jauh di tengah hutan, lokasinya berada di bukit Karanggondang serta di atasnya terdiri dari bukit-bukit lagi yang membentuk sebuah perkampungan.

Bukit yang ada di Karanggondang diantaranya Gunung

Sayangkaak, Lokasi ini sungguh elok, karena dari bukit ini bisa memandang lautan, dari Lembahputri hingga Pantai Pangandaran, demikian pula dari Sayangkaak bisa melihat pesawahan di Pandean dan Babakan. Di gunung Sayangkaak ini, dulunya terdapat pohon kiara yang sangat besar dan  dihuni oleh jurig sebangsa buto ijo, gederwo, kuntilanak dan lainnya. Namun seiring berjalannya waktu,  pohon kiara roboh, pertanda mahluk jurignya pergi. Menurut para tetua robohnya pohon besar itu pertanda akan ada pemingpin Negara yang lengser tidak secara wajar.

Ada lagi Gunung Munggang Herang, menurut tetua adat, yaitu Murdiki, di Munggang Herang ini dulunya tempat persinggahan para wali jika mereka tengah bepergian. Tempat ini juga biasa untuk rapat oleh para wali. Namun Munggang Herang, kini sudah hampir hilang, mungkin karena keserakahan manusia. Pohonnya kini hanya terdapat pohon benda yang usianya sudah ratusan tahun.

Selanjutnya ada gunung/pasir Dregel, lokasi ini sebetulnya dua bukit berhadapan. ditempat ini disemayamkan tetua Karanggondang yaitu Murdiki tadi.

Selain gunung, di Karanggondang dulu banyak tempat yang sangat angker, sebut saja Ci cangkuang, (cangkuang sejenis pandan hutan, biasa dibuat untuk tikar) jika kita selesai nanjak Gunung Karanggondang yang terjal dan tanjakannya mencapai 85 derajat, lalu keluar hutan, mulai masuk perkampungan Karanggondang, kita akan disambut oleh solokan yang dihampari batu, di tempat itu ada pohon sempu, yang hingga kini masih hidup.

Di pohon itulah letak keangkerannya, karena jika kita salah berucap atau mengeluarkan kata-kata yang kurang baik, kita akan kena tulah atau bahasa lainnya kalap, atau kita bermain atau tanpa sengaja melintas di tempat itu saat waktu Dzohor, atau saat sandekala, maka kita akan kena tulah atau kalap. Selain Cicangkuang, ada lagi yaitu Sodong, tempat itu dulu sangat angker, disitu ada batu sebesar rumah type 36, dan ada pohon benda, konon tempat itu suka dipake untuk bertapa. Pernah satu ketika, ada orang sedang bertapa, tapi ditengah malam orang itu lari ke Mesjid yang berjarak  +200 meter, di mesjid ada tetua Kampung yaitu Murdiki, kemudian orang itu  terengah-engah ketakutan, lalu ditanya kenapa kok lari seperti di kejar setan. Lalu orang itu mengaku bahwa dirinya ketakutan saat bertapa digoda oleh kodok naik Vespa, kodok naik sepeda, kodok menari, ikan main calung dan binatang tadi mengelilingi dirinya. Ditanya oleh Murdiki, untuk apa kamu bertapa, ingin dapet nomor togel katanya. Lalu Murdiki menasehati agar dia lebih baik solat dan jangan bertapa. Kalau disodong bisa bikin kaya, pasti orang Karanggondang sudah kaya semua.

Lalu adalagi Cilasa, tempat ini merupakan hutan bambu, disitu banyak batu-batu raksasa, banyak jurig, jin setan pri prayangan,  hingga kini tempat ini masih angker, walau beberapa orang berani menempati. Kalau dulu sekitar tahun 1980han hanya ada 3 rumah penduduk, yaitu Wirya Meja, Rasdi, dan Karto, tapi kini mungkin malah tidak ada.

Selain lokasi angker itu, ada juga Kedung Lieur, ini aliran sungai yang memiliki kedung atau kubangan besar, disitu ada batu raksasa, konon kalau bukan penduduk asli, jika jam 12 siang masih di kali atau tanpa ingat Allah, maka orang itu akan sakit kepala dan bisa pingsan, karena lieur atau artinya pusing. Cikuda paeh, dahulu pada masa kerajaan galuh Pangauban, kuda sang Pembesar kelelahan karena jalan naik-turun gunung, hingga pada saat sampai dilokasi itu, kudanya  tak kuat lagi, kuda pun mati, maka kuda itu dikuburkan dilokasi pinggir sungai. Kini lokasi ini jadi perkampungan dan pesawahan rakyat.

Cikangkung, lokasi ini dahulunya pesawahan yang subur, selain padi, kangkung terdapat sangat banyak, hingga masyarakat cukup hidup dengan menjual kangkung saja.

Sungai yang cukup besar, ikannya banyak, dan lumayan dalam, terletak dibalik gunung dregel atau pasir dregel, terdapat banyak batu-batu raksasa, bahkan aliran sungai itu melintas dipunggung batu yang menggunung, uniknya ada sumur di punggung batu yang  jadi sungai itu. Didalam sumur terdapat banyak ikan, kadang anak-anak suka nyair atau memancing di sumur itu. Namun jika musim hujan, punggung batu itu tidak bisa dilewati, selain licin sangat berbahaya karenaairnya deras,  jika terjatuh bisa fatal, akan tergelincir kebawah sekitar 15 meter dengan kemiringan 80 derajat. Jika jatuh dan terguling ke bawah, akan parah, karena sepanjang aliran sungai di posisi itu semua hamparan batu sekitar 15 meter menurun kurang lebih 80 derajat.

Lokasi ini karena dibalik gunung, terima mataharinya setelah pukul 8 pagi, maka disebut Nyalindung, atau tersembunyi. Konon angker juga, karena dulu banyak  ular dan banyak gederwo. Tapi sekarang gak tau.

Gupitan, lokasi ini merupakan puncak bukit gupitan, disini dahulu dibangun balai kampung, halaman balai dipake untuk lapang volley. Di lereng bukit gupitan terdapat makam besar, seluruh warga kampung Karanggondang, jika meninggal akan dikubur disitu.

Jika menuju ke kampung Karanggondang lewat jalur emplak, maka kita akan melewati yang namanya sungai kecil bernama sulangjana. Dahulu tempat ini sangat angker, karena jika kita melewati sungai ini lewat magrib, maka sering bertemu obor/oncor berjalan sendiri. Oncor itu katanya itu merupakan mata sang lodaya atau macan siluman. Jika kita tidak  permisi, maka lampu, senter, atau motor kita akan mati, maka gelap gulita yang ada. Mesin motor atau mobilpun bisa mati, maka kita harus permisi dulu atau jangan melintas pas waktu magrib. Setelah sulangjana, maka saat keluar hutan kita akan disambut dengan sungai Cikadu, ini sungai besar dan bening, aliran ini berasal dari kedung lieur. **Wsn

Para pemimpin kampung ini dahulu ada aki Wijaya,dia seorang pemimpin kampung, dia adalah Kepala Dusun atau Kadus. Di Putrapinggan Kadus disebut Golongan, aki Wijaya adalah golongan, dia keturunan raja Galuh juga, namun asal-usulnya tidak ada yang tahu, putranya masih ada bernama Sahili. Aki Karsan adalah tokoh yang santun, dia tidak menjadi pemimpin, namun dia biasa menasehati para pemimpin Karanggondang.

Ada aki Jana, dia seorang RT yang berilmu tinggi, dia ahli pencak silat dan tukang menaklukan ular.

Suparta, dia tetua kampung, berilmu tinggi, banyak memegang pusaka kerajaan. Kemudian

Rumanta, dirinya seorang ahli pengobatan tradisional, pasiennya kebanyakan karena kalap atau karena gangguan mahluk halus, jadi dahulu jika ada yang kena gangguan mahluk halus, dialah yang mampu mengobati. Ada Nata Saman, yang hingga kini masih hidup, usianya sudah 111 tahun saat penulisan ini tahun 2015, tapi masih bisa jalan ke Jakarta, Bandung, Garut, Cirebon, bahak masih bisa kunjungan ke redaksi Kawalitv dan kawalinews.com. Selanjutnya ada Pak Jenal dan Anwari, mereka tetua dibidang keagamaan, selain Murdiki selaku DKM, Jenal dan Anwari adalah pemuka agama di Karanggondang. Misdi, dia adalah juga tokoh Karanggondang, menantunya Komarudin sempat menjabat sebagai Kepala Desa Putrapinggan. Aki Kartaja, orang ini sakti, mampu menghilang dan kesaktiannya tersohor. Terakhir orang yang menjadi pupuhu atau pemimping atau yang dituakan adalah Murdiki. Murdiki memimpin Karanggondang sejak tahun 1978 hingga tahun 1998. Dia meninggal dunia dengan tenang pada bulan April tahun 1998, dihadapan isteri, anak perempuan dan cucunya.

Keadaan Galuh Pangauban

Kerajaan Galuh Pangauban berada di hadapan kampung Karanggondang, lokasi itu disebut tamiang kuning, disitu dahulu ada batu sebesar gentong

yang bisa diangkat-angkat, namun karena belum ada perhatian pemerintah, lokasinya di hutan lebat, maka batu itu hilang. Disebut tamiang kuning, karena lokasi ini dipagari oleh bambu kuning, karena juga rajanya memang Prabu Haur Kuning.

Areal ini sekitar 3 sampai 5 hektar, kini jadi hutan lindung. Lokasi ini dijaga oleh ular besar yang sewaktu-waktu muncul, namun walaupun dijaga, tapi dasar pencuri, batu itu bisa dicuri. Jika dipandang dari arah pantai, kraton Galuh Pangauban berada di bukit Karanggondang, namun jika dari lokasi kraton, memandang kedepan, tampak pantai Rancakalong atau lembah putri, tampak pantai Pangandaran, dan pasir kepala dimana pasir kepala itu sebagai pusat penjagaan masa lalu, namun

kini jadi penginapan.

Untuk lokasi latihan para prajurit, tidak jauh dari tamiang kuning ada Rata Jengkol, masyarakat biasa memanfaatkan buah jengkolnya untuk dikonsumsi, selain jengkol banyak gadung, manga dan petai/pete, namun kini telah habis. Ada juga pasir bitung, lokasi ini lebih tinggi lagi dari tamiang kuning dan rata jengkol, disini banyak bambu bitung, masyarakat biasa memanfaatkan rebungnya untuk konsumsi.

Untuk pengembangan kekuasaan dan benteng kekuatan, di Karanggondang juga terdapat kiara koneng, dahulu pohon kiara ini sangat kuat, usianya sudah ratusan tahun, tapi saat Presiden Suharto akan lengser pohon itu tumbang, bersamaan dengan pohon kiara di sayangkaak.

Ciwalingi adalah taman para putri kraton, lokasi ini kini kebun yang tidak terurus, masyarakat takut untuk menggarap karena angker.  Lokasi ini hamparan batu seluas kurang lebih 5 hektar. Di hamparan batu itu terdapat sumur batu yang disebut beji, kedalamannya hanya 2 meter saja, tapi airnya tidak pernah habis, sehingga jika kemarau panjang, masyarakat yang berani, banyak yang memanfaatkan airnya. Sebetulnya tempat angker itu, tidak akan mengganggu kita selaku manusia, asal kitanya saling menghargai  sesama mahluk Allah, kita wajib saling menghargai, apalagi tempat itu dibuat oleh manusia pada sekitar 500 sampai 1000 tahun yang lalu.

Saya Wasono yang dilahirkan di Karanggondang, hidup dan besar di Karanggondang, namun baru tahu  bahwa itu merupakan bekas keraton Galuh Pangauban, sekitar 15  tahun silam. Setelah membaca beberapa buku, dari internet, serta cerita para sesepuh di Ciamis yang mengarah keposisi dan nama itu.  Rangkuman ini juga dari buku dan dari internet.

Kawali 5 Januari 2015. Jika ada salah penulisan mohon maaf, namun itu yang saya tahu dari buku karya H. Jaja, Sumber Internet dan Cerita dari orangtua. Masih Banyak sumber lain, silahkan cari di berbagai jalur **wsn

Setelah Nagabanyu terdapat situs makam Naga Bumi yang masih berdekatan dengan situs Nanggakaria. Makam Naga Bumi berupa struktur batuan yang sudah agak terkubur semak belukar, dengan orientasi utara selatan agak timur laut. Masih di Dusun Desa RT 002 RW 005 Desa Bangunharja Kecamatan Cisaga pada koordinat -7.292260, 108.546237. sama halnya dengan Naga Banyu, Naga Bumi adalah pengikut / senopati dari Nanggakaria.